Senin, 12 November 2012

PENDIDIKAN DAN ANAK JALANAN



Image
Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata pendidikan khususnya di negara kita? Apakah pendidikan di Indonesia telah menyentuh anak-anak jalanan? Terkadang kita memandang bahwa anak jalanan lekat dengan hal-hal yang negatif; pencopetan, premanisme dan lain sebagainya. Tapi sudahkah kita bertanya mengapa mereka menjadi demikian?
Penyebabnya tidak lain adalah karena desakan ekonomi yang semakin membuat mereka mau tidak mau harus mencuri dan merampok. Kondisi ekonomi mereka tidak pernah berubah ke arah yang lebih baik, karena mereka sama sekali tidak tersentuh oleh pendidikan. Hampir semua anak jalanan putus sekolah bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari tiga kali  saja sudah sulit. Meskipun ada yang berkata, biaya sekolah sekarang sudah lebih murah karena pemerintah telah memberikan banyak bantuan seperti beasiswa, BOS dan sebagainya. Tetapi permasalahannya adalah biaya yang lebih murah tersebut apakah berlaku lebih murah pula bagi anak-anak jalanan? Sepertinya tidak, pendidkan bagi mereka seperti emas yang dijual semakin mahal dari waktu ke waktu.
Akan tetapi sesuai konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. Begitu pula kiranya anak jalanan yang memerlukan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Melihat isi dari pasal 31 ayat 1 tersebut sangat bertolak belakang dengan yang dialami anak jalanan. Mereka hampir tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan pengajaran. Ironisnya di tengah pendidikan bagi anak jalanan yang terabaikan, DPR justru berencana mendirikan gedung baru yang megah dengan alasan “kinerja”. Sepertinya akan lebih bijak apabila dana tersebut digunakan untuk mendirikan sekolah untuk anak jalanan, memberikan honor bagi pengajar, dan penyediaan sarana belajar mengajar untuk mereka. Akan tetapi di balik hal tersebut  kita patut bangga karena  kepedulian masyarakat Indonesia terhadap pendidikan justru semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang mengabdikan diri sebagai pengajar di sanggar yang telah didirikan.
Seperti contohnya Andi Suhandi yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai “The Young Heroes” oleh sebuah acara televisi ternama. Ia berhasil mendirikan sanggar pendidikan bagi anak jalanan, yang telah menampung banyak anak jalanan dan sebagian dari mereka telah bersekolah di sekolah formal dan berprestasi. Meskipun pada awalnya Andi mengalami kesulitan akan tetapi kesulitan tersebut dapat dilalui berkat kesabaran dan kerja kerasanya. Hasilnya anak-anaknya berhasil membawa pulang Tropi Walikota Juara 1 untuk tulis puisi yang bertema anak jalanan dan Juara 2 lomba baca puisi, serta  berhasil meraih Juara 1 lomba teater pada 2009.
Jadi, sebenarnya apabila anak jalanan tersebut dibina dengan baik, mereka memiliki potensi yang tidak kalah dengan anak pada umumnya. Anak jalanan perlu dirangkul untuk mendapatkan haknya memperoleh pendidikan dan tidak selalu dipandang sebelah mata.

Sekolah Anak Kolong kembali Tergusur ke Kolong Tol


JAKARTA– Sulis, 10 tampak bersemangat menulis kata demi kata dalam buku tulisnya siang itu. Bersama puluhan siswa lainnya, Sulis duduk dalam ruangan kelas yang terdiri dari sekat-sekat triplek di Sekolah Darurat Kartini.
Namun semangat mereka menuntut ilmu kini dibayangi kekhawatiran rencana penggusuran sekolah yang terletak di kawasan Pergudangan, Jalan Lodan Raya, Pademangan, Jakarta Utara.
Sulis, 11, Lindi, 11 dan puluhan temannya adalah anak-anak yang tinggal di kolong jembatan Tol Lodan Mas. Mereka bersekolah di Sekolah Darurat Kartini yang didirikan saudara kembar Sri Rossyati, 63 dan Sri Irianingsih, 63, pada 1990 khusus untuk anak-anak tidak mampu yang sebagian besar tinggal di kolong jembatan.
Dalam bangunan 10 kali 40 meter yang dibagi dalam delapan sekat ruang, mereka belajar dengan fasilitas gratis yang diberikan sekolah.
Sebagian besar orang tua ‘anak-anak kolong’ bekerja sebagai kuli bangunan atau tukang kayu. Keberadaan sekolah gratis yang telah berdiri selama 22 tahun tersebut sangat membantu mereka.
Selain tanpa biaya, mereka juga mendapatkan seperti seragam, sepatu, peralatan sekolah, dan makan siang gratis. Sepekan ini keresahan hinggap pada murid-murid Sekolah Darurat Kartini dan orang tua mereka. Pasalnya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) telah mengirimkan surat pemberitahuan untuk segera memindahkan bangunan sekolah dari area tersebut.
“Sekolah ini satu-satunya harapan kami agar anak-anak kami bisa bersekolah. Kami berharap kalau bisa jangan sampai dibongkar,” tutur Ningsih, 35, salah seorang orang tua murid Sekolah Darurat Kartini. Ningsih tak mengerti duduk persoalan yang menyebabkan sekolah anaknya tersebut harus digusur. Namun ia tak dapat membayangkan nasib anaknya jika sekolah gratis tersebut harus tutup.
Ibu guru kembar pendiri sekolah yang akrab disapa Rian dan Rossy mengakui PT KAI memberikan waktu hingga 9 September untuk pindah dari lahan tersebut.
“Lahan ini memang bukan milik kami, jadi kalau digusur ya tidak apa-apa. Nanti kami kembali ke pinggir rel kolong tol, yang penting kami akan terus mempertahankan keberadaan sekolah ini demi anak-anak,” tegas Rossy.
Dia menuturkan, pada 1990 seorang pengusaha bernama Liem Li menyewa lahan tersebut dari PT KAI. Liem yang berperan sebagai donatur itu kemudian meminjamkan lahan tersebut pada mereka untuk pendirian Sekolah Darurat Kartini.
Keduanya pun menuturkan, bukan baru sekali ini Sekolah Darurat Kartini mengalami penggusuran. Sekolah tersebut menempati lahan milik PT KAI di kawasan Pergudangan tersebut sejak 16 tahun lalu.
Sebelumnya sekolah ini sempat didirikan di kawasan di Pluit Penjaringan, Kali Jodo Tambora Jakarta Barat, dan pinggir rel kereta Bandengan Penjaringan. Namun Rian dan Rossy tak patah arang untuk tetap mendirikan sekolah tersebut demi pendidikan anak-anak kaum marjinal.
Saat ini terdapat sekitar 596 siswa Sekolah Darurat Kartini yang terdiri dari siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Kalau tidak ada wadah seperti sekolah ya mereka akan hidup di jalan. Padahal mereka juga warga negara Indonesia, mereka punya hak mendapatkan pendidikan,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Humas PT KAI, Mateta Rizalulhaq mengatakan, bangunan sekolah tersebut akan dibongkar karena mengganggu operasional kereta api. “Setelah ditertibkan, kami mau mengaktifkan kembali daerah itu untuk aktivitas perkereta-apian,” ujar dia.
Dia pun menilai kawasan tersebut tidak sesuai sebagai lingkungan sekolah. Menurutnya PT KAI telah menyampaikan surat pemberitahuan sejak 2 Juli sampai 9 September 2012 atas dasar UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang menyebutkan, bangunan dengan radius 6 kilometer dari bantaran rel akan ditertibkan jika tidak berizin.
“Kami menghormati mereka yang memiliki keinginan belajar, maka kami memberikan waktu tiga bulan bagi mereka untuk pindah,” ujar Mateta. Meski telah memberikan tenggat waktu pengosongan lahan hingga 9 September, Mateta belum memastikan kapan eksekusi akan dilaksanakan.
Perihal relokasi tersebut, menurutnya, bukan kewajiban PT KAI. Sesuai pasal 34 UUD’45, ujarnya, anak-anak terlantar diperlihara oleh negara. “Jadi relokasi itu kewajiban pemerintah, kalau ada upaya dari pemerintah mungkin saja ada tempat relokasi. Itu kewajiban pemerintah,” tambahnya.

Jadi bengong waktu nonton Oprah Winfrey Show siang ini.
Oprah memperingatkan di awal acara, bahwa topik kali ini benar-benar penting, sampai-sampai sesi ini disiarkan langsung (LIVE) supaya bisa langsung mendapat tanggapan dari masyarakat USA.
Topiknya adalah tentang kondisi pendidikan di Amerika yang memburuk. Dua ribu sekolah dianggap tidak memenuhi standar kualitas, yang disebut sebagai 2,000 dropout factories, karena 40% siswanya drop out setiap tahun. Sehingga bisa diperkirakan 1,2 juta anak di Amerika putus sekolah setiap tahun.
This is our problem as a nation. We are not going to be able to compete in a global economy with 1.2 million kids dropping out every year. –Oprah Winfrey
Statistik ini shocking, kata Oprah.
Lalu di acara ini dibagikanlah dana sejumlah enam juta US Dollar untuk enam sekolah (masing-masing 1 juta), yang dianggap paling inovatif dan punya sistem pendidikan yang patut dicontoh. Dananya masih terus menerus akan dikumpulkan dari masyarakat dan disalurkan untuk pendidikan.
Itu tadi negara maju dan superpower dan punya kecanggihan teknologi dan uang yang jauh lebih banyak dari yang kita bayangkan. Dan mereka masih sangat mengkhawatirkan sistem pendidikan di negaranya.
Terus, gimana dengan di Indonesia?
Saya hampir nggak berani nanya.

potret pendidikan di pelosok Indonesia (Laskar Pelangi)

Say Cheers from Lombok Timur ...
Say Cheers from Lombok Timur ...
Malam ini saya senang sekali. Tepatnya tanggal 22 Maret 2012, pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Lombok. Hal yang mengantarkan saya ke sini adalah sebuah misi dari @lebahbooks melalui  program yang disebut #SatuBukuSatuSaudara. Ya, ini adalah penyerahan pertama sebagian dari hasil donasi buku #SatuBukuSatuSaudara kepada anak-anak di pelosok Lombok dari berbagai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai mitra Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL).
Keesokan harinya saya bersama mbak @vera_makki , mbak @poetrisoehendro , mas @fahmivalen sang fotografer, pak Usman (pengelola PAUD Al-Mujahidin) dan bu Mukanah (Pembina TBAL) mengunjungi PAUD  AL-Falaah yang terletak di Lombok Timur. PAUD ini terletak di pinggir sawah, hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Tak hanya PAUD, Al-Falaah juga memiliki tempat untuk Posyandu, Parenting room, dan TK.  Kedatangan kami ke PAUD tersebut sebagai undangan Pak Azro’i, pengelola PAUD tersebut, yang merasa kegiatan anak-anak ini akan semakin lengkap apabila disokong buku cerita anak-anak, sehingga mengajak TBAL untuk bermitra.
Setiba di sana, saya dikejutkan dengan kondisi  PAUD tersebut, dimana bangunan, ruang kelas, para guru dan “situasi” di sana tampak seperti sekolah/TK profesional. Padahal PAUD AL-Falaah itu terbentuk dari hasil swadaya. Ternyata semua ini berkat semangat kepedulian dan kegigihan dari masyarakat setempat yang ingin mengentaskan buta huruf di  lingkungan/daerahnya. “Semoga Taman Bacaan Anak Lebah berkenan untuk juga menyalurkan buku cerita anak-anak ke kami, agar wawasan dan kreativitas anak-anak semakin berkembang,” ujar pak Azro’i.
Setelah mengunjungi PAUD AL-Falaah, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Labuan Haji. Di sana sudah dikumpulkan 150 anak-anak dari 7 PAUD gabungan  dari Lombok Tengah dan Timur. Sayangnya anak-anak dari PAUD Istiqomah dan Rambitan Jaya tidak bisa hadir karena jarak yang terlalu jauh. Mereka diwakili para tutor dan pengelola yang secara simbolis menerima buku-buku dari donatur. Sekitar pukul  9 pagi, mbak @poetrisoehendro mulai mendongeng. Anak-anak pun terhipnotis dengan cerita yang disampaikan oleh mbak Putri sampai tak terasa waktu mendekati sholat Jum’at.
Kemudian acara dilanjutkan dengan pembagian donasi buku #SatuBukuSatuSaudara.  Sepanjang kampanye #SatuBukuSatuSaudara yang digaungkan melalui social media sejak awal Maret, terkumpul 150 buku, sebagian besar dengan catatan kecil dari si pengirim yang diselipkan dalam buku cerita.
Mimik keheranan pun muncul di wajah anak-anak itu ketika membaca surat/note yang terselip di dalam buku yang mereka terima. Mereka tidak pernah menerima surat sebelumnya dan tidak mengerti betul mengapa ada teman-teman dari berbagai kota yang peduli sedemikian rupa terhadap mereka.
Yang menggembirakan, saat mulai dijelaskan perlahan-perlahan, mimik mereka kemudian berubah menjadi ekspresi gembira ketika memamerkan surat/note itu ke teman-teman mereka dan membacanya dengan keras (tentu dengan bisikan dari tutor, sebagian dari mereka belum bisa membaca).  Mereka berjanji akan membaca dan menyimpan buku-buku tersebut dengan baik dan berterima kasih sekali kepada kakak-kakak yang sudah berbaik hati memberikan mereka buku cerita. Akhir dari kegiatan kami siang itu dipenuhi dengan kegembiraan. Walaupun cuaca panas terik, tetapi tidak mengurangi semangat para guru dan kepala sekolah, serta keceriaan anak-anak  itu.
Terima kasih mbak @poetrisoehendro, mas Fahmi , ibu Mukanah, pak Usman dan pak Az’roi yang sudah membantu hingga terselenggaranya kegiatan bersama anak-anak dari PAUD AL-Mujahidin, Assajari, Melati, Amanah, dan AL-Fallah (minus PAUD Istiqomah dan Rambitan Jaya). Berikut adalah foto-foto kegiatan dan penyerahan donasi #SatuBukuSatuSaudara batch 1.
Buat teman-teman yang ingin berdonasi buku untuk #SatuBukuSatuSaudara, masih kami tunggu partisipasinya. Anak-anak di Wakatobi, Ambon, Pulau Seram juga menanti kepedulian kalian lho ;)
(written by Rismadhani ‘Dhani’ – @sidhancrut www.tamanbacaananaklebah.com)
Wajah ceria menerima buku dari #SatuBukuSatuSaudara.
Wajah ceria menerima buku dari #SatuBukuSatuSaudara.
Tutor membantu Tika membaca secarik semangat dari si pengirim #SatuBukuSatuSaudara
Tutor membantu Tika membaca secarik semangat dari si pengirim #SatuBukuSatuSaudara
Pembagian buku hasil dari #SatuBukuSatuSaudara
Pembagian buku hasil dari #SatuBukuSatuSaudara. "Kamu dapat buku yang mana?"
Mendengarkan dongeng si Kodok di pinggir pantai, Lombok
Mendengarkan dongeng si Kodok di pinggir pantai, Lombok
#SatuBukuSatuSaudara ... anak-anak penerima buku. Terima kasih bagi yang sudah menambah tali persaudaraan dengan mereka.
#SatuBukuSatuSaudara ... anak-anak penerima buku. Terima kasih bagi yang sudah menambah tali persaudaraan dengan mereka.

Nilai Tanzil yang Gigih Memperjuangkan Budaya Membaca di Indonesia Timur


Selama tiga tahun terakhir, Nila Tanzil sudah mendirikan 24 Taman Bacaan Pelangi di berbagai pelosok Indonesia Timur. Berdampak pada peningkatan kemampuan mengarang dan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak-anak setempat.
SEKARING RATRI A., Jakarta PERLAHAN anak-anak di Kampung Nara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu membuka beberapa kantong plastik yang disodorkan Nila Tanzil dan seorang rekannya dari Belanda.
Mata mereka takjub memandang barang yang ada di dalamnya: krayon. Memegang alat gambar itu pun, mereka sangat hati-hati. Ternyata, mereka belum pernah melihat krayon sebelumnya. Jadi, kayak ngelihat harta karun gitu. Terharu banget lihat ekspresi mereka, ungkap Nila kepada Jawa Pos tentang kejadian yang disaksikannya dua tahun silam tersebut.
Momen-momen menggetarkan seperti itulah yang membuat semangat lajang 36 tahun tersebut terus membuncah untuk tetap melanjutkan apa yang dimulainya sejak 2009: menyemai budaya membaca buku dengan membuka taman-taman bacaan yang dinamainya Taman Bacaan Pelangi (TBP) di pelosok Indonesia Timur.
Hingga saat ini, total sudah 24 TBP yang didirikan head of stakeholder mobilization PT Nike Indonesia tersebut di Flores, Atambua, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi. Baik yang didirikannya sendiri maupun dengan bantuan sejumlah rekan. TBP pertama yang didirikannya berada di Kampung Roe, Manggarai Barat.
Ketika itu, 2009, Nila memang bekerja sebagai communication consultant pada sebuah lembaga konservasi lingkungan hidup dan pariwisata, The Nature Conservancy, yang berpusat di Manggarai Barat, Flores, NTT. Sebagai perempuan kota, awalnya Nila yang juga dikenal sebagai blogger itu cukup tersiksa dengan kondisi lingkungan tempat bekerjanya yang serbaminim fasilitas. Tapi, dasar suka bepergian, perlahan dia justru betah.
Sebab, dia bisa memuaskan hobi traveling-nya dengan menjelajah pulau-pulau terpencil di sekitar Labuan Bajo, termasuk kawasan Taman Nasional Komodo. Hasil penjelajahannya itulah yang lantas membuka matanya akan kondisi memprihatinkan anak-anak di kawasan terpencil tersebut. Sarana hiburan mereka sangat terbatas. Kasihan banget. Pulang sekolah, mereka main di hutan sekalian cari kayu bakar untuk keperluan memasak orang tua mereka, katanya.
Nila langsung terpikir untuk membuka taman bacaan di daerah-daerah tersebut sebagai alternatif hiburan mencerdaskan bagi anak-anak. Dia ingin mereka bisa bersenang-senang dengan buku seperti juga yang dialaminya sejak kecil. Terbawa sifatnya yang selalu spontan, saat itu juga dia langsung mewujudkan niat tersebut. Tapi, karena serba berasal dari kantong sendiri, Nila tidak bisa membikin gedung untuk lokasi taman bacaan tersebut.
Seorang diri, Nila pun memberanikan diri bertanya kepada para penduduk setempat untuk menyediakan lokasi taman bacaan. Aku survei, cari rumah penduduk yang punya halaman luas. Lalu, aku ketuk-ketuk pintu aja, terus aku tanya sama mereka apa boleh buka taman bacaan di sini, kenangnya. Modal nekat serta niat tulus Nila membuahkan hasil. Warga mendukung sekali ide taman bacaan di daerah mereka.
Mereka bahkan bersedia menjadi pengelola TBP secara sukarela. Beres soal lokasi, Nila pun berjibaku mengisi taman bacaan. Sekali lagi perempuan dengan rambut jigrak itu harus merogoh kocek sendiri. Dia pulang ke Jakarta untuk membeli ratusan buku bacaan anak-anak usia sekolah dasar (SD). Dia sengaja memilih buku bacaan yang kaya ilustrasi seperti buku cerita rakyat dan ensiklopedia anak.
Dia paham bahwa anak-anak usia SD lebih suka melihat buku bergambar ketimbang buku yang hanya berisi tulisan. Nila juga membeli lemari buku untuk menyimpan koleksi buku bacaan tersebut. Minimal ada 400 buku bacaan di setiap Taman Bacaan Pelangi, ujar Nila. Kalau ditotal, modal awal mendirikan tiap TBP mencapai Rp 10 juta. Semua buku untuk keperluan TBP tersebut dibawanya sendiri dengan naik pesawat.
Akhirnya, tepat pada 5 Desember 2009, TBP pertama berdiri di Kampung Roe. Aku nggak nyangka melihat antusiasme anak-anak waktu kali pertama TBP didirikan. Mereka langsung menyerbu lemari bukunya. Rasanya seneng banget, urainya. Melihat antusiasme yang tinggi tersebut, Nila pun tidak ingin TBP hanya ada di satu lokasi. Apalagi, masih banyak anak di daerah terpencil di kawasan Indonesia Timur yang bernasib serupa.
Anak kedua di antara tiga bersaudara itu pun segera terpikir untuk membuat TBP di kawasan-kawasan lain. Lagi-lagi karena modal hanya berasal dari kantong pribadi, Nila pun hanya bisa mendirikan tiga TBP lagi. Yakni, TBP di Kampung Melo, Kampung Komodo, dan Desa Nampar Macing. Ketiganya berada di NTT. Seperti lokasi pertama, warga di tiga daerah tersebut juga menyambut baik adanya TBP. Karena TBP kerap menjadi bahan pembicaraan dari kampung ke kampung, makin banyak pula daerah yang menginginkan TBP.
Nila pun mulai kewalahan. Akhirnya, dia meminta bantuan teman-temannya untuk membangun TBP di kampung-kampung lain. Nila menghubungi mereka melalui surat elektronik. Dia menjelaskan proyek TBP. Aku bilang sama mereka, aku punya ide bikin taman bacaan nih. Aku jelaskan semuanya. Responsnya bagus. Mereka langsung forward e-mail aku ke network-nya. Jadi, makin banyak yang mau nyumbang, baik berupa buku maupun dana. Tapi, ya ada juga yang responsnya lama banget, jelasnya sambil tersenyum.
Meski bantuan sudah mengalir, Nila tetap mengelola sendiri semua bantuan tersebut. Dia juga yang membawa buku-buku sumbangan itu ke sejumlah TBP miliknya. Tapi, kadang aku juga nitip sama teman baikku yang kebetulan berkunjung ke Labuan Bajo, ujarnya. Di tahap itu tantangan secara fisik harus dihadapi Nila. Sebanyak 24 TBP yang didirikannya tersebut rata-rata berlokasi di kawasan pegunungan atau laut yang sulit dijangkau. Ada TBP yang baru bisa diakses setelah bermobil selama lima jam, dilanjutkan dengan ngojek dua jam dan bonus jalan kaki dua jam.
Padahal, dia harus rutin mengunjungi 24 TBP itu meski sejak tahun ini sudah bekerja di Jakarta. Tujuannya, selain menengok perkembangan, juga merotasi buku dari satu TBP ke TBP lain agar anak-anak yang menjadi sasaran tidak bosan. Belum lagi tantangan lain. Ada TBP yang sama sekali tak bisa dinikmati anak-anak setempat. Gara-garanya, si pemilik lahan memilih mengunci lemari tempat menyimpan buku. Pengelolanya nelayan setempat. Waktu aku ke sana, lemarinya dikunci dan kuncinya dibawa dia yang sedang melaut.
Aku bongkar paksa lemarinya. Eh, buku-bukunya masih bagus-bagus dan licin, kenang Nila. Ternyata dia nggak pernah buka lemari bukunya karena takut rusak buku-bukunya. Setelah itu, langsung aku pindahkan TBP ke rumah warga lainnya, lanjut dia. Namun, berbagai kesulitan itu selalu terbayar lunas tiap kali Nila menemui momen-momen menggetarkan seperti saat menyaksikan anak-anak di Kampung Nara takjub dengan krayon itu. Atau ketika menikmati berisiknya anak-anak Indonesia Timur saat membaca.
Mereka bacanya nggak dalam hati seperti yang kita lakukan, tapi mereka suarakan gitu. Jadi seru dengernya. Sampai-sampai ada bapak yang bagian bawah rumah panggungnya ketempatan TBP mengaku tak bisa tidur tiap siang, kata Nila terkekeh. Kepuasan lain juga dia rasakan ketika mendapati peningkatan penguasaan bahasa Inggris anak-anak pengunjung TBP di Labuan Bajo, NTT. Itu juga yang terjadi di TBP-TBP lainnya.
Banyak guru sekolah yang bilang ke aku bahwa sekarang anak-anak jadi pintar mengarang. Kosakata mereka juga bertambah banyak. Seneng aku dengernya, paparnya. Karena itu, Nila tak ingin berhenti membuka TBP. Dia sudah memiliki rencana untuk merambah daerah-daerah terpencil di Papua dan Maluku. Tidak hanya itu, dia juga berniat menjadikan TBP sebagai yayasan.
Nila pun rajin mem-posting kegiatan dan artikel tentang TBP di situs www.tamanpelangi.com dan akun Twitter @pelangibook. Aku berharap TBP bisa makin banyak agar bisa menyediakan akses terhadap buku bacaan anak-anak yang berkualitas. Sebab, aku yakin, TBP bisa membantu menumbuhkan minat baca anak-anak yang tinggal di desa-desa terpencil, ujarnya. (*/c11/ttg)

Dilema Pendidikan di Indonesia Timur


Cerita ini hanya sekadar catatan keprihatinan pendidikan di Indonesia Timur. Hari ini pun masih terasa getir itu, pendidikan menjadi barang mahal. Patut Kita prihatin pendidikan di luar jawa (Indonesia Timur).
Terkadang mereka harus menempuh jarak berkilo-kilo meter tanpa alas kaki.dan itu terjadi pada anak sekolah dasar di pelosok daerah di Indonesia Timur. Saya juga masih ingat ketika kecil dulu, menelusuri jalan bebatuan tanpa alas kaki, disisi kanan, jari mengenggam satu eksemplar buku tipis,sedangkan jemari sisi kiri menggenggam pensil tanpa tas punggung dan bekal.
Bapak saya pernah menginginkan saya untuk sekolah dasar saja. Alasan klasik yang membuat bapak berkata seperti itu : Biaya. itu dilakukan hanya untuk mengurangi beban hidup yang harus ditanggung keluarga.
Cerita diatas hanya sekedar pengantar, masalah lain yang kini menjadi dilema pendidikan luar Jawa itu. Paling tidak ada beberapa hal menarik mengurai beberapa dilema itu,
Dilema itu :
Minat Baca (sense of reading)
Kondisi budaya baca di Indonesia timur (contoh kasus Makassar) bisa dikatakan masih kurang menggembirakan. Walau tidak dapat menyajikan data faktual, (hanya common sense-butuh penelitian lanjut), namun secara empirik menunjukkan masyarakat masih menganggap budaya baca hanya berlaku bagi orang yang “kutu buku”, aktivis atau orang-orang kelas menengah keatas, banyak orang tak menganggap lagi buku adalah sepotong pizza.
Secara empiris, minat baca menarik untuk dianggap dilema di Indonesia timur (kasus kota Makassar) paling tidak sebagai diskursus. Saya ambil contoh minat baca di Jogjakarta, bagemana kondisi yang membuat orang termotivasi membaca. Kondisi minat baca di Jogjakarta tergolong tinggi karena tersedianya buku bacaan dengan berbagai disiplin ilmu yang mudah dan murah. Hal yang menarik juga adalah perpustakaan, baik kampus maupun perpustakaan kota. Desainnya menggairahkan dengan cat warna terang dan tata ruangan yang membuat citra warna (menggoda selera). Desain juga penting dalam memberi kesan nyaman. Belum lagi dengan koleksi yang boleh dibilang lumayan banyak.
Bagaimana Minat Baca di Kota Makassar (yang konon sebagai gerbang Indonesia Timur) ? Saya malah salut dengan pemerintah Kota Makassar yang menggalang “Gerakan Makassar Gemar Membaca” yang sebenarnya adalah paling bagus digaungkan pendidik di Universitas sebagai tempat memproduksi pengetahuan. Tapi sayang pendidik (guru dan dosen) lebih mementingkan “sertifikasi” dari pada kewajiban memberi motivasi bagi siswa dan mahasiswa untuk membaca.
Infrastruktur Pendidikan
Bisa jadi infrastruktur pendidikan di Indonesia Timur masih memprihatinkan. Jangankan di pelosok, di kota Sekelas Makassar masih ada sekolah dasar yang tak layak digunakan (contoh kasus sekolah kera-kera) bagaimana yang ada di tempat-tempat yang jauh seperti Papua,Nusa Tenggara Timur dan Sangirtalaud ?…
Ada yang menganggap bahwa fasilitas di indonesia bagian barat (contoh kasus Jakarta, Bandung, Jogjakarta) memadai karena dekat dengan kekuasaan. Itu benar, walau tidak semuanya benar. Tapi paling tidak terjadi ketimpangan infrastruktur pendidikan antara Jawa dan luar Jawa.
Jangan heran jika universitas yang masuk dalam world metrik dan 10 besar di Indonesia berasal dari Jawa. Tak boleh memang iri apalagi ditangisi. Ini hanya dilema pembangunan yang membuat pendidikan di luar Jawa tak mampu bersaing dengan pendidikan di Indonesia timur.
Sistem Pengajaran
Saya masih ingat ketika salah seorang sahabat bercerita untuk keluar lebih cepat dari kelas. Kelas sebagai tempat reproduksi mata air pengetahuan tak mampu lagi membuat sahabat itu nyaman dan berlama-lama di kelas.
Adakah sistem pendidikan di kelas ? entah, tapi realitas bisa menjawabnya. Jangan disalahkan mahasiswa (kaum intelektual) lebih senang diluar ke kampus, (contoh tawuran) bisa jadi ada yang salah pada Dosen. Ibarat guru kencing berdiri, maka bisa saja murid kencing berlari.
Ada pendidik yang lebih memberikan nilai hanya berdasarkan etnis, dan kedekatan sosial. Ada juga mengajar seenak hati, datang terlambat, pulang cepat. (mungkin ini juga pengalaman saya… :))
Mengurai ironi pendidikan itu seakan tak habis kata untuk dieja. Dilema pendidikan telah enjadi cerita kisah klasik di Indoesia Timur.
Gambar di unduh :
http://www.google.co.id/http://1.bp.blogspot.com
http://www.google.co.id/http://myindismart.blogspot.com/2010/11/berjalan-kaki-ke-sekolah-salah-satu.html&imgurl=http://1.bp.blogspot.com

Perjalananku Mengantar Buku #SatuBukuSatuSaudara


Say Cheers from Lombok Timur ...
Say Cheers from Lombok Timur ...
Malam ini saya senang sekali. Tepatnya tanggal 22 Maret 2012, pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Lombok. Hal yang mengantarkan saya ke sini adalah sebuah misi dari @lebahbooks melalui  program yang disebut #SatuBukuSatuSaudara. Ya, ini adalah penyerahan pertama sebagian dari hasil donasi buku #SatuBukuSatuSaudara kepada anak-anak di pelosok Lombok dari berbagai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai mitra Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL).
Keesokan harinya saya bersama mbak @vera_makki , mbak @poetrisoehendro , mas @fahmivalen sang fotografer, pak Usman (pengelola PAUD Al-Mujahidin) dan bu Mukanah (Pembina TBAL) mengunjungi PAUD  AL-Falaah yang terletak di Lombok Timur. PAUD ini terletak di pinggir sawah, hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Tak hanya PAUD, Al-Falaah juga memiliki tempat untuk Posyandu, Parenting room, dan TK.  Kedatangan kami ke PAUD tersebut sebagai undangan Pak Azro’i, pengelola PAUD tersebut, yang merasa kegiatan anak-anak ini akan semakin lengkap apabila disokong buku cerita anak-anak, sehingga mengajak TBAL untuk bermitra.
Setiba di sana, saya dikejutkan dengan kondisi  PAUD tersebut, dimana bangunan, ruang kelas, para guru dan “situasi” di sana tampak seperti sekolah/TK profesional. Padahal PAUD AL-Falaah itu terbentuk dari hasil swadaya. Ternyata semua ini berkat semangat kepedulian dan kegigihan dari masyarakat setempat yang ingin mengentaskan buta huruf di  lingkungan/daerahnya. “Semoga Taman Bacaan Anak Lebah berkenan untuk juga menyalurkan buku cerita anak-anak ke kami, agar wawasan dan kreativitas anak-anak semakin berkembang,” ujar pak Azro’i.
Setelah mengunjungi PAUD AL-Falaah, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Labuan Haji. Di sana sudah dikumpulkan 150 anak-anak dari 7 PAUD gabungan  dari Lombok Tengah dan Timur. Sayangnya anak-anak dari PAUD Istiqomah dan Rambitan Jaya tidak bisa hadir karena jarak yang terlalu jauh. Mereka diwakili para tutor dan pengelola yang secara simbolis menerima buku-buku dari donatur. Sekitar pukul  9 pagi, mbak @poetrisoehendro mulai mendongeng. Anak-anak pun terhipnotis dengan cerita yang disampaikan oleh mbak Putri sampai tak terasa waktu mendekati sholat Jum’at.
Kemudian acara dilanjutkan dengan pembagian donasi buku #SatuBukuSatuSaudara.  Sepanjang kampanye #SatuBukuSatuSaudara yang digaungkan melalui social media sejak awal Maret, terkumpul 150 buku, sebagian besar dengan catatan kecil dari si pengirim yang diselipkan dalam buku cerita.
Mimik keheranan pun muncul di wajah anak-anak itu ketika membaca surat/note yang terselip di dalam buku yang mereka terima. Mereka tidak pernah menerima surat sebelumnya dan tidak mengerti betul mengapa ada teman-teman dari berbagai kota yang peduli sedemikian rupa terhadap mereka.
Yang menggembirakan, saat mulai dijelaskan perlahan-perlahan, mimik mereka kemudian berubah menjadi ekspresi gembira ketika memamerkan surat/note itu ke teman-teman mereka dan membacanya dengan keras (tentu dengan bisikan dari tutor, sebagian dari mereka belum bisa membaca).  Mereka berjanji akan membaca dan menyimpan buku-buku tersebut dengan baik dan berterima kasih sekali kepada kakak-kakak yang sudah berbaik hati memberikan mereka buku cerita. Akhir dari kegiatan kami siang itu dipenuhi dengan kegembiraan. Walaupun cuaca panas terik, tetapi tidak mengurangi semangat para guru dan kepala sekolah, serta keceriaan anak-anak  itu.
Terima kasih mbak @poetrisoehendro, mas Fahmi , ibu Mukanah, pak Usman dan pak Az’roi yang sudah membantu hingga terselenggaranya kegiatan bersama anak-anak dari PAUD AL-Mujahidin, Assajari, Melati, Amanah, dan AL-Fallah (minus PAUD Istiqomah dan Rambitan Jaya). Berikut adalah foto-foto kegiatan dan penyerahan donasi #SatuBukuSatuSaudara batch 1.
Buat teman-teman yang ingin berdonasi buku untuk #SatuBukuSatuSaudara, masih kami tunggu partisipasinya. Anak-anak di Wakatobi, Ambon, Pulau Seram juga menanti kepedulian kalian lho ;)
(written by Rismadhani ‘Dhani’ – @sidhancrut www.tamanbacaananaklebah.com)
Wajah ceria menerima buku dari #SatuBukuSatuSaudara.
Wajah ceria menerima buku dari #SatuBukuSatuSaudara.
Tutor membantu Tika membaca secarik semangat dari si pengirim #SatuBukuSatuSaudara
Tutor membantu Tika membaca secarik semangat dari si pengirim #SatuBukuSatuSaudara
Pembagian buku hasil dari #SatuBukuSatuSaudara
Pembagian buku hasil dari #SatuBukuSatuSaudara. "Kamu dapat buku yang mana?"
Mendengarkan dongeng si Kodok di pinggir pantai, Lombok
Mendengarkan dongeng si Kodok di pinggir pantai, Lombok
#SatuBukuSatuSaudara ... anak-anak penerima buku. Terima kasih bagi yang sudah menambah tali persaudaraan dengan mereka.
#SatuBukuSatuSaudara ... anak-anak penerima buku. Terima kasih bagi yang sudah menambah tali persaudaraan dengan mereka.