Senin, 12 November 2012

Dilema Pendidikan di Indonesia Timur


Cerita ini hanya sekadar catatan keprihatinan pendidikan di Indonesia Timur. Hari ini pun masih terasa getir itu, pendidikan menjadi barang mahal. Patut Kita prihatin pendidikan di luar jawa (Indonesia Timur).
Terkadang mereka harus menempuh jarak berkilo-kilo meter tanpa alas kaki.dan itu terjadi pada anak sekolah dasar di pelosok daerah di Indonesia Timur. Saya juga masih ingat ketika kecil dulu, menelusuri jalan bebatuan tanpa alas kaki, disisi kanan, jari mengenggam satu eksemplar buku tipis,sedangkan jemari sisi kiri menggenggam pensil tanpa tas punggung dan bekal.
Bapak saya pernah menginginkan saya untuk sekolah dasar saja. Alasan klasik yang membuat bapak berkata seperti itu : Biaya. itu dilakukan hanya untuk mengurangi beban hidup yang harus ditanggung keluarga.
Cerita diatas hanya sekedar pengantar, masalah lain yang kini menjadi dilema pendidikan luar Jawa itu. Paling tidak ada beberapa hal menarik mengurai beberapa dilema itu,
Dilema itu :
Minat Baca (sense of reading)
Kondisi budaya baca di Indonesia timur (contoh kasus Makassar) bisa dikatakan masih kurang menggembirakan. Walau tidak dapat menyajikan data faktual, (hanya common sense-butuh penelitian lanjut), namun secara empirik menunjukkan masyarakat masih menganggap budaya baca hanya berlaku bagi orang yang “kutu buku”, aktivis atau orang-orang kelas menengah keatas, banyak orang tak menganggap lagi buku adalah sepotong pizza.
Secara empiris, minat baca menarik untuk dianggap dilema di Indonesia timur (kasus kota Makassar) paling tidak sebagai diskursus. Saya ambil contoh minat baca di Jogjakarta, bagemana kondisi yang membuat orang termotivasi membaca. Kondisi minat baca di Jogjakarta tergolong tinggi karena tersedianya buku bacaan dengan berbagai disiplin ilmu yang mudah dan murah. Hal yang menarik juga adalah perpustakaan, baik kampus maupun perpustakaan kota. Desainnya menggairahkan dengan cat warna terang dan tata ruangan yang membuat citra warna (menggoda selera). Desain juga penting dalam memberi kesan nyaman. Belum lagi dengan koleksi yang boleh dibilang lumayan banyak.
Bagaimana Minat Baca di Kota Makassar (yang konon sebagai gerbang Indonesia Timur) ? Saya malah salut dengan pemerintah Kota Makassar yang menggalang “Gerakan Makassar Gemar Membaca” yang sebenarnya adalah paling bagus digaungkan pendidik di Universitas sebagai tempat memproduksi pengetahuan. Tapi sayang pendidik (guru dan dosen) lebih mementingkan “sertifikasi” dari pada kewajiban memberi motivasi bagi siswa dan mahasiswa untuk membaca.
Infrastruktur Pendidikan
Bisa jadi infrastruktur pendidikan di Indonesia Timur masih memprihatinkan. Jangankan di pelosok, di kota Sekelas Makassar masih ada sekolah dasar yang tak layak digunakan (contoh kasus sekolah kera-kera) bagaimana yang ada di tempat-tempat yang jauh seperti Papua,Nusa Tenggara Timur dan Sangirtalaud ?…
Ada yang menganggap bahwa fasilitas di indonesia bagian barat (contoh kasus Jakarta, Bandung, Jogjakarta) memadai karena dekat dengan kekuasaan. Itu benar, walau tidak semuanya benar. Tapi paling tidak terjadi ketimpangan infrastruktur pendidikan antara Jawa dan luar Jawa.
Jangan heran jika universitas yang masuk dalam world metrik dan 10 besar di Indonesia berasal dari Jawa. Tak boleh memang iri apalagi ditangisi. Ini hanya dilema pembangunan yang membuat pendidikan di luar Jawa tak mampu bersaing dengan pendidikan di Indonesia timur.
Sistem Pengajaran
Saya masih ingat ketika salah seorang sahabat bercerita untuk keluar lebih cepat dari kelas. Kelas sebagai tempat reproduksi mata air pengetahuan tak mampu lagi membuat sahabat itu nyaman dan berlama-lama di kelas.
Adakah sistem pendidikan di kelas ? entah, tapi realitas bisa menjawabnya. Jangan disalahkan mahasiswa (kaum intelektual) lebih senang diluar ke kampus, (contoh tawuran) bisa jadi ada yang salah pada Dosen. Ibarat guru kencing berdiri, maka bisa saja murid kencing berlari.
Ada pendidik yang lebih memberikan nilai hanya berdasarkan etnis, dan kedekatan sosial. Ada juga mengajar seenak hati, datang terlambat, pulang cepat. (mungkin ini juga pengalaman saya… :))
Mengurai ironi pendidikan itu seakan tak habis kata untuk dieja. Dilema pendidikan telah enjadi cerita kisah klasik di Indoesia Timur.
Gambar di unduh :
http://www.google.co.id/http://1.bp.blogspot.com
http://www.google.co.id/http://myindismart.blogspot.com/2010/11/berjalan-kaki-ke-sekolah-salah-satu.html&imgurl=http://1.bp.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar